Hati - hati, Jangan Sembarang Memuji !

  


Setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan masing - masing. Dari kelebihan / kebaikan ini seringkali menimbulkan kekaguman. Berawal dari rasa inilah kemudian berlanjut pada rasa simpati dan penghargaan yang berujung pada pujian.

Memuji orang lain, dalam konteks hubungan sosial kemasyarakatan merupakan perilaku yang baik. Apalagi jika perilaku tersebut dilakukan dengan penuh kesadaran dan kesalingan, tentunya menunjukan adanya hubungan yang baik / harmonis antar sesama.

Namun demikian, pada tataran Syar'i perbuatan memuji tidak serta merta dinilai sebagai sebuah kebaikan. Dalam Islam, diperbolehkan memuji orang selama menenuhi beberapa ketentuan.


Adab Memuji

Imam An Nawawi menyatakan bahwa memuji merupakan perbuatan yang tidak dilarang, namun selama tidak mendatangkan mudharat. Termasuk mudharat  itu adalah ketika orang yang dipuji menjadi riya / imannya tergoyahkan.

Karenanya, Rasulullah Muhammad SAW berpesan dalam hadits Muslim :

" Jika kalian melihat orang - orang yang suka memuju, maka tumpahkanlah debu ke mukanya "

Selanjutnya, Imam An Nawawi dalam kitab al Adzkar memberikan saran ketika ingin memuji orang lain.

Menurutnya dalam menyikapi beberapa hadits tentang memuji, para ulama mengakomodasi hadits - hadits tersebut dan berpendapat bahwa apabila pujian itu diberikan kepada seseorang yang sudah memiliki kesempurnaan dalam tataran keimanannya / keyakinan, pengetahuannya, dan keteguhan hatinya maka memuji tidak menjadi haram ataupun makruh. 

Sebaliknya, apabila pujian itu dikhawatirkan mendatangkan mudharat, semisal menimbulkan fitnah bagi yang dipuji dan lainnya, maka sangat dimakruhkan memujinya.

Adapun memuji orang yang ada di hadapan kita, ada beberapa hadits yang membolehkan dan ada pula hadits yang melarang. 

Diceritakan, bahwa di samping Rasulullah SAW ada orang yang memuji-muji temannya. Lalu, Rasulullah mengingatkannya. Kata beliau, ''Celaka kamu! Kamu telah memotong leher saudaramu itu. Kalau ia mendengar, ia tidak akan senang.'' Kemudian beliau melanjutkan, ''Kalaulah kamu harus memuji saudaramu, lakukanlah itu secara jujur dan objektif.'' (HR Bukhari-Muslim). 

Para ulama sepakat menjadikan hadits tersebut sebagai dasar memuji orang lain. Memuji seseorang di depan orang lain, bukan di depan orang yang di pujinya. 

Hadits tersebut mengingatkan kita agar tidak sembarang memuji atau memberikan pujian sekadar membuat senang seseorang. Pujian seperti ini selain tidak mendidik, juga sangat bertentangan dengan norma-norma agama.

Pujian yang dilakukan secara berlebihan menjadi bagian dari bencana lidah (min afat al-lisan) yang sangat berbahaya. 


Efek Negatif Pujian

Dalam Ihya 'Ulum al-Din, Imam Ghazali menyebutkan ada enam bahaya atau keburukan yang diakibatkan oleh pujian tersebut.

Empat keburukan kembali kepada orang yang memberikan pujian, dan dua keburukan lainnya kembali kepada orang yang dipuji.

Bagi pihak yang memuji, keburukan-keburukan itu berisi beberapa kemungkinan. 

1. Pujian secara berlebihan menyebabkan ia terjerumus dalam dusta.

2. Ia memuji dengan berpura-pura menunjukkan rasa cinta dan simpati yang tinggi padahal sesungguhnya dalam hatinya tidak. Di sini, ia berbuat hipokrit dan hanya mencari muka. 

 3. Ia menyatakan sesuatu yang tidak didukung oleh fakta. Ia hanya membual dan bohong belaka. 

 4. Ia telah membuat senang orang yang dipuji padahal ia orang jahat (fasik). Menurut Imam Ghozali,  Orang jahat jangan dipuji biar senang, tetapi harus dikritik biar introspeksi.

Adapun bagi pihak yang dipuji terdapat dua keburukan yang bisa timbul yakni :

Pertama, orang yang dipuji bisa menjadi sombong (kibr) dan merasa besar sendiri ('ujub). Sedangkan keduanya (kibr dan 'ujub) merupakan penyakit hati yang mematikan. 

Kedua, ia bisa lupa diri dan lengah karena mabuk pujian. Menurut Ghazali, orang yang merasa besar dan hebat, pasti ia lengah. 

Ketika merasa sudah hebat, ia akan beranggapan tidak perlu bersusah payah dan bekerja keras. Kerja keras hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang yang merasa banyak kekurangan dalam dirinya. 

Jadi, pujian boleh dilakukan ketika dapat dipastikan bagi orang yang memuji dan yang dipuji terhindar dari keburukan-keburukan.

Rasulullah SAW pernah memuji Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan sahabat-sahabat beliau yang lain. Namun, pujian beliau dilakukan dengan jujur dan penuh kearifan. Beliau juga sadar betul bahwa pujiannya tidak akan menjadikan para sahabatnya itu sombong. 

Dalam hal ini, sadar diri sangat diperlukan masing - masing individu agar tidak mudah mabuk karena pujian. Seseorang perlu mengenali dirinya sendiri, karena hanya dirinya yang lebih tahu dirinya sendiri ketimbang orang lain yang memuji.

Dengan begitu, ia tidak akan lengah, karena sadar tidak semua pujian yang dialamatkan kepadanya sesuai dengan kenyataan. 

Dikisahan, ketika ada seorang yang memuji Imam Ali bin Abi Thalib. Kemudian Imam Ali berkata, ''Aku tidak sebagus yang kamu katakan.''

Dalam kesempatan lain, ketika banyak menerima pujian, beliau justru berdoa, ''Ya Allah, ampunilah aku atas perkataan mereka, dan jangan Engkau siksa aku gara-gara mereka. Berikanlah kepadaku kebaikan dari apa yang mereka sangkakan kepadaku.'' Wallahu a'lam bisshowab...

Semoga kita dapat memetik pelajaran dari kisah dan pendapat para ulama terkait dengan adab memuji dan menerima pujian tersebut.

Demikian semoga bermanfaat...


Posting Komentar

6 Komentar